<H1>
bahasa ikonis
</H1> |
<H2> Sabtu, 23 Maret 2013 </H2> |
<H2>
melainkan juga dalam hampir semua bidang
semiotis, termasuk di dalam bahasa (Budiman, 2005:62). Pada makalah ini akan
dibahas ikon dalam metafora. Ikon tidak selalu berdasarkan pada kemiripan
seperti dalam pemahaman “awam” sehari-hari, melainkan juga similaritas dalam
pengertian sebagai relasi
abstrak ataupun homologi struktural
(Budiman, </H2> |
<H2>
Transformasi Fungsi Gambar dalam Ilustrasi: Dari Dekorasi
Visual, Interpretasi Visual, Jurnalis Visual sampai Opini Visual </H2> |
<H2>
Merunut
Akarjalar Ilustrasi Dunia: Dari Heteronomi ke Otonomi </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Ketika kita
membicarakan gambar dalam konteks Ilustrasi berarti memperbincangkan gambar
dalam bingkai fungsi. Sisi fungsi sangat melekat dalam kata ‘Ilustrasi’. Hal
ini terjadi karena dalam sejarahnya kata “Illustrate” muncul akibat
pembagian tugas fungsional antara teks dan gambar. Dari etimologinya Illustrate
berasal dari kata ‘Lustrate’ bahasa Latin yang berarti memurnikan atau
menerangi. Sedangkan kata ‘Lustrate’ sendiri merupakan turunan kata dari
* leuk- (bahasa Indo-Eropa) yang berarti ‘cahaya’ (Grolier Multimedia
Encyclopedia 2001). Dalam konteks ini Ilustrasi adalah gambar yang dihadirkan
untuk memperjelas sesuatu yang bersifat tekstual. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Ilustrasi
adalah anak industrialisasi yang mendambakan spesialisasi dalam mekanisme
kerjanya. Pada awal abad pertengahan terjadi pembagian tugas kerja antara
seorang ’Scrittori’ dan seorang ’Illustrator’ dalam pembuatan sebuah illuminated
manuscript. Posisi seorang Scrittori bertugas untuk menyiapkan dan
mendesain huruf atau kaligrafi dari teks sebuah buku atau manuskrip. Sedangkan
seorang Ilustrator bertugas untuk memproduksi ornamen dan gambar yang
memperjelas isi teks. Pemilahan tersebut mengawali dan mempertegas istilah
Ilustrasi menjadi selalu berdimensi fungsi. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Fungsi
memperjelas sebuah teks atau bahkan memberi sentuhan dekorasi pada
lembar-lembar teks memberi gambaran bahwa saat itu gambar (ilustrasi) adalah
subordinan dari teks. Gambar adalah pelengkap teks. Gambar hanyalah wahana
untuk mengantarkan pemahaman secara lebih utuh dari sebuah teks. Seorang
Ilustrator harus dapat memahami isi teks dan kemudian mengilustrasikannya dalam
bentuk gambar. Kemampuan mentranslasikan dari sesuatu yang tekstual ke dalam
bentuk yang visual menjadi poin penting sebagai seorang Ilustrator. Ilustrator
berperan sebagai penerjemah (interpreter) ke pada pembaca dari sesuatu yang
abstrak (wilayah bahasa/tekstual) ke dalam sesuatu yang konkret sifatnya
(wilayah rupa). Tuntutan kepiawaiannya tidak berhenti pada tataran olah rupa
(visualisasi) saja, tetapi juga mencakup wawasan (pemahaman terhadap teks) dan
olah komunikasinya (bagaimana cara menyampaikan kepada pembacanya melalui
rupa). Posisi Ilustrator dalam hal ini adalah sebagai visual interpreter.
Secara fungsional Ilustrator berada di posisi antara (in between)
penulis dan pembacanya. Di sisi lain posisi seorang Ilustrator adalah sebagai
seorang visual dekorator. Menyiapkan iluminasi sebagai bingkai penghias ataupun
mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah manuskrip. Era illuminated
manuscript ini berakhir ketika gambar yang sebelumnya dieksekusi melalui
teknik manual, mulai dicetak dengan teknik woodcut. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Selanjutnya
mekanisasi dan massalisasi sebuah buku menjadi semakin menemukan bentuknya
dengan penemuan movable type (1451). Walaupun penyajiannya tidak terlalu
beranjak jauh dari era illuminated manuscript; unsur dekorasi dalam
bentuk ornamen membingkai tiap halamannya dan gambar kadang tampil penuh satu
halaman sebagai penjelas teks. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Pada akhir
abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran
posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang
ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam menginterpretasikan
sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi lebih mandiri.
Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai tawar dan
tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai
seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di
Cina. Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian,
karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Perkembangan
selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah pada abad
19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre
(painter’s book). Ilustrasi tidak hanya menjadi bagian atau pelengkap
sebuah buku, tetapi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku
tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre
yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis
oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga menghasilkan livre
adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Kemandirian
Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan aktifitas-aktifitas
jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan
untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun
para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam
konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi
sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak sebagai perantara
dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai author itu
sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Sepenggal
Sejarah Ilustrasi Indonesia 1920-1960 </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Sejarah
panjang Ilustrasi tidak bisa dilepaskan dari dunia buku. Pemahaman kita
terhadap fungsi Ilustrasi sebagai penjelas, memperindah atau bahkan pemahaman
fungsi yang lebih avant garde tidak terpisah dari perkembangan dan pemaknaan
ulang media di mana ilustrasi tersebut diaplikasikan. Pergulatan panjang posisi
Ilustrator melalui cara ungkap visual maupun pesan tidak lepas dari semangat
jamannya. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Di Indonesia
karya Ilustrasi dapat kita jejak melalui artifak-artifak visual naratif yang
ada. Merunut khasanah visual naratif di Indonesia tidak kalah panjang dengan
sejarah visual naratif di belahan dunia lainnya. Catatan-catatan visual di
garca-garca goa yang bertebaran dari Leang-leang di Sulawesi sampai goa Pawon
di Jawa Barat menjadi penanda bertutur visual era pra sejarah. Gambar-gambar
pada lembar-lembar lontar ataupun pada media Wayang Beber menandai era pra
modern. Di era kolonialisasi muncul media-media modern seperti majalah atau
surat kabar. Melalui media surat kabar ataupun majalah tersebut terjadi
transfer ilmu (ilustrasi) baik teknis maupun gagasan dari Ilustrator asing
(penjajah) kepada para Ilustrator bumi putra. Walaupun istilah ’Ilustrasi’
bukan dari kamus bahasa kita sendiri, secara subtantif artifak-artifak
visual/gambar tersebut memiliki kesamaan secara fungsional, menjelaskan atau
menerangkan. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Dari rentang
waktu antara th 1920-1960 (di Indonesia) dari artifak yang berhasil dikumpulkan
(dalam media massa) akan memberi gambaran dinamika Ilustrator dan karya
Ilustrasinya. Pengklasifikasian artifak temuan terdiri dari dua jenis:
ilustrasi untuk rubrikasi dan ilustrasi yang menjelaskan cerita atau artikel. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Ilustrasi
pada rubrikasi secara fungsi menjelaskan atau memberi gambaran umum tentang isi
rubrik yang diwakilinya. Wakil-wakil visual adalah resonansi dari judul-judul
rubrikasi. Sebagai contoh, judul sebuah rubrikasi ”PAGERAKAN” atau pergerakan
wakil visual yang hadir adalah sosok pemuda berjas dan berpeci dengan gestur
bergerak dinamis sebagai foreground. Ikon catatan-catatan dan suluh
lilin menjadi pelengkap penjelas rubrikasi tersebut dalam background
nya. Ada korelasi yang jelas antara gambar dan teks. Gambar berfungsi
memperjelas teks. Ilustrasi sebagai interpretasi visual terhadap teks. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Beberapa
artifak rubrikasi dijumpai juga gambar-gambar memiliki korelasi terasa jauh
atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan rubrik yang diwakilinya. Teks
bertuliskan ”Panjebar Semangat” sedangkan wakil visual yang hadir adalah gambar
pegunungan dengan sawah dan petani, atau stilasi Kala menyerupai ukiran pintu
gerbang. Pemilihan wakil-wakil visual tersebut dapat kita baca lebih simbolis.
Gambar landscape gunung beserta sawah dan petani ataupun stilasi Kala
tersebut sebagai subtitusi Nasionalisme atau Negara Indonesia. Relasi antara
gambar dan teks melalui pendekatan simbolis seperti itu-pun masih terasa jauh.
Relasi gambar dan teks tidak langsung menjelaskan, terkadang malah terjebak
sebagai dekorasi saja. Fungsi gambar pada ilustrasi rubrikasi jenis ini
memiliki kecenderungan besar kearah ilustrasi sebagai dekorasi visual, walaupun
tidak menutup kecenderungan lainnya. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Kategori
lainnya adalah gambar–gambar yang menyertai teks di dalam media massa. Artifak
visual biasanya muncul mengiringi teks pada cerpen dan tajuk utama atau
editorial. Seorang Ilustrator dalam menanggapi teks melalui gambar atau wakil
visual yang dihadirkannya dapat kita klasifikasikannya dalam dua pola; pertama,
bagaimana Ilustrator mengolah pesan (what to say), kedua, adalah
bagaimana cara Ilustrator mengolah rupa (how to say). Hampir sebagian
besar artifak visual yang telah dikumpulkan bersifat Naratif dalam olah
pesannya. Dalam hal ini berarti Ilustrator memposisikan dirinya sebagai
interpreter visual. Modusnya mencoba menterjemahkan teks dengan mencari moment
yang paling menarik dan mewakili dari naskah tersebut, kemudian mencari wakil
visualnya yang paling gamblang/jelas dalam menyampaikan pesan. Beberapa artifak
tampil unik dengan menggunakan pendekatan olah pesan yang lebih metaforik.
Artifak yang muncul di harian Fikiran Ra’jat (1932), menggambarkan permasalahan
imperialisme dengan metafora seekor anjing berjenis Bulldog berkalung leher
bertuliskan “Imperialisme“, dengan ujung ekor muncul sosok kepala priyayi jawa
yang bertuliskan “boeroeh imperialisme”. Permainan subtitusi visual
menghasilkan kiasan-kiasan tak langsung menguatkan pesan yang disampaikannya.
Ilustrator dengan pendekatan metafora, sedikit atau banyak telah memasukkan
opini pribadinya dalam menanggapi teks yang ada. Gambar tidak hanya sebagai
penjelas teks, tetapi sudah bergeser pada opini visual yang lebih personal.
Ilustrasi mulai mencari ruang-ruang otonominya. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Pada wilayah
olah rupa, terjadi eksplorasi yang cukup luas (dalam keterbatasan teknis yang
ada) dari gaya visual yang rumit, realis, obyektif dan khusus sampai ke wilayah
ujung paradoksnya yang sederhana, ikonis atau abstrak, subyektif dan umum.
Rentang waktu antara tahun 1929 sampai 1951/53, sebagian besar ilustrator
menggali potensi garis, outline, dan bidang-bidang datar. Garis-garis liris
maupun ekspresif melalui media gambar pena, tinta dengan kuas menghasilkan
kualitas visual yang khas. Garis arsir membentuk tonal gradasi maupun gelap
terang dari obyek-obyek yang dihadirkannya. Di tahun 1956 ditemukan artifak
ilustrasi bernada penuh dengan gradasi yang halus. Kecenderungan tersebut
dihadirkan melalui pendekatan teknis hitam putih media cat air. Gaya gambar
yang muncul lebih realis mendekati karya fotografis. Di akhir 60-an muncul
kecenderungan baru dalam mengolah huruf sebagai bagian dari gambar. Tipografi
sebagai gambar (type as image) adalah sebuah kesadaran baru dari para
ilustrator di era tersebut. Kemampuan olah huruf sebagai pendukung resonansi
visual, mengingatkan kita pada Onomatopea di ranah seni sekuensial. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Sebuah
catatan khusus di era 1942-194 </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Di masa
Jepang (1942–1945) para seniman sering mengerjakan karya ilustrasi dalam rangka
propaganda Jepang. Keimin Bunka Shidosho adalah wadah kelompok kesenian yang
langsung dibawah pengawasan Sendenbu atau Barisan Propaganda Bala Tentara Dai
Nippon (Dullah, Raja Realisme Indonesia: 17). Ilustrator (para seniman yang
mengerjakan karya ilustrasi) mendapat posisi yang baik secara politis karena
pemanfaatan untuk kepentingan perang. Dalam berbagai aplikasi medianya seperti
di poster maupun media massa dapat kita amati seringkali ilustrator
memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Pesan-pesan baik gagasan
propaganda maupun pesan naskah pada media massa ditranslasikan dengan gamblang
oleh ilustrator. Tetapi di era ini juga muncul jurnalisme-jurnalisme visual
yang kuat dari para seniman. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Dokumentasi
peristiwa-peristiwa penting dalam pergerakkan kemerdekaan tergambarkan dalam catatan-catatan
visual para seniman. Bagaimana Soekarno membakar semangat para pemuda ter-capture
dengan baik dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” catatan visual sederhana dengan
kuas spontan on the spot oleh Dullah. Bahkan beberapa muridnya yang
masih belia seperti Moh. Toha terjun ke area peperangan ikut mengabadikan
melalui goresan tangannya. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Di era 1945
pula, muncul karya poster yang fenomenal “Boeng Ajo Boeng” menjadi tonggak
sejarah perjuangan, kontribusi dari para seniman. Poster tersebut hasil
kolaborasi antara S. Soedjojono, Affandi dan Dullah (sebagai model untuk di
gambar), sedangkan Chairil Anwar menyumbangkan slogan untuk Headline teksnya. Goresan-goresan
kuat dan ekspresif dapat kita temukan hampir di semua artifak ilustrasi di era
ini. Semangat jaman dari akumulasi keinginan untuk merdeka seakan
terepresentasikan melalui tangan-tangan ilustrator di kala itu. Opini–opini
visual melalui media poster maupun jurnalisme visual semakin mengukuhkan
pergeseran posisi fungsi Ilustrasi menjadi lebih mandiri. Pada awalnya
Ilustrasi sebagai gambar terbingkai oleh nilai-nilai fungsinya yang heteronomi
kini mulai bergeser ke ruang-ruang yang lebih otonom. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Ikon adalah tanda yang didasarkan pada kemiripan di antara tanda (representamen)
dan objeknya, walaupun tidak semata-mata bertumpu pada pencitraan
“naturalistik” seperti apa adanya, karena grafik skema, atau peta juga termasuk
yang dapat dikakan ikon (Budiman. 2005:23). Jenis tanda yang didasari resemblance
itu adalah tanda ikonis, dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas (Budiman,
2005:43). </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Pierce ternyata memilah-milah tipe-tipe ikon secara
tripatit, yaitu ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor)
merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan
pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis
(Budiman, 2005:66). metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas di
antara objek-objek dari dua tanda simbolis (Budiman, 2005:74). Biasanya berupa hubungan
similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Contoh Ikon metafora: </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang
berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang
memiliki kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk
menopang tubuh atau gunung. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Daftar Pustaka </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas:
Semiotika Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik. </H2> |
<H2>
Sobur, Alex. 2003. Semiotika
Komunikasi. Bandung: Rosda. </H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2>
</H2> |
<H2> Arsip Blog </H2> |
<H2> Mengenai Saya </H2> |
<H3>
transformasi fungsi gambar
</H3> |
<H3>
semantik dan semiotika
</H3> |
Social
Social Data
Cost and overhead previously rendered this semi-public form of communication unfeasible.
But advances in social networking technology from 2004-2010 has made broader concepts of sharing possible.